“Adeeeeeeeeeeeeeeeek!!!! Kamu iseng banget sih? Sana masuk kamar lalu tidur. Sekarang sudah malam, besok kamu harus berangkat sekolah pagi-pagi.”
“Ah, kakak gak asyik nih. Tapi gak apa-apa deh, yang penting aku uda liat senyum kakak hari ini.”
Aku Lala, kelas 3 SMA. Bagiku sebuah senyuman itu sangat berarti. Terutama bagiku. Aku mempunyai sebuah tempat khusus untuk menyimpan semua senyuman yang telah aku dapatkan dan aku akan membukanya saat aku membutuhkannya.
“Pagi Lala… sudah siap ke sekolah hari ini?”
“Belum.”
“Kok belum Nak?”
“Senyum dulu dong Ma, semangat Lala kan ada di senyum mama.”
“Tuh kan, anak mama yang satu ini pagi-pagi uda iseng.”
Tawa pun pecah di ruang makan. Ruang dimana aku bisa mengumpulkan banyak senyum. Senyum yang merangkai setiap hidupku. Senyum yang membuatku selalu bahagia.
***
“Ceria banget kamu hari ini La? Ada apa nih? Dapet gebetan baru ya?”
“Bukan. Aku kan memang orangnya ceria. Kalau kamu masih mau jadi sahabatku harus senyum dong. Berikan senyum terindah yang pernah kamu miliki.”
Sahabatku Tasya mulai menunjukkan senyum dengan tujuh gigi yang tampak berjajar rapi. Mungkin semua orang menganggapku aneh. Perubahan diri yang tiba-tiba membuat mereka sedikit curiga. Dulu aku memang pelit senyum, tapi kini aku telah berubah.
Aku memang usil tapi itu hanya sementara. Aku hanya bisa menunggu kapan detik jam itu berhenti. Dalam setiap detik, aku ingin selalu tersenyum. Aku memang tidak melihat senyumku sendiri kecuali di depan cermin. Saat aku tersenyum, aku akan melihat senyum itu terpantul kembali dari senyum orang lain. Itu istimewa!
Hampir setiap hari aku membutuhkan senyum itu. Dan kini semakin sering aku membutuhkannya. Ini antara aku dengan Tuhan. Biarlah tetap menjadi sebuah rahasia sampai detik jam itu berhenti.
***
“Lala, ayo makan. Mama Papa sudah menunggu di ruang makan.”
“Iya Kak. Bentar lagi Lala menyusul.”
Maafkan aku. Aku tidak ingin kalian tahu tentang hal ini. Aku sudah berjanji untuk menjadi Lala yang ceria.
Aku ambil sebuah kotak kecil berwarna biru muda. Di kotak itulah tersimpan beribu-ribu senyum yang telah aku kumpulkan. Dan malam ini aku sangat membutuhkannya. Aku seperti pecandu narkoba.
Oh, Tuhan, aku mau menikmati makan malam. Ijinkan aku bertemu keluargaku dalam keadaan baik. Tolong hentikan aliran darah ini sebentar saja.
Hidungku mengeluarkan darah. Tubuhku mulai melemah dan sangat pusing. Di saat inilah aku membuka kotak itu. Aku keluarkan satu senyuman. Aku pejamkan mata dan membayangkan setiap pemilik senyuman itu. Hatiku menjadi tenang. Tubuhku mulai bersemangat. Dan aku harus bangkit melawan kanker darah yang menggerogoti tubuhku.
“Nak, kok kamu pucat? Sakit ya?”
“Gak Ma. Lala cuma kecapekan aja tadi di sekolah.”
“Ya sudah, cepat makan lalu istirahat.”
Tuhan terima kasih buat kesempatan yang Kau berikan padaku sehingga malam ini aku bisa berkumpul dan makan bersama keluarga tercintaku. Aku tahu bahwa Kau akan mengambilku dari mereka sebentar lagi.
***
Pagi ini kudapati tubuhku yang semakin susah untuk di gerakkan, tapi aku bersyukur masih bisa berjalan dengan kedua kakiku. Hari ini aku harus tampil cantik. Aku ingin orang-orang di sekitarku bahagia.
Tuhan, sekarang Kau juga akan mengambil rambutku. Berapa banyak rambut yang Kau mau dariku?
Untuk pertama kalinya, rambutku mulai rontok. Tapi aku tetap bersyukur tuhan masih memberiku hidup hari ini. Aku bisa melihat senyum keluargaku. Detik-detik dalam hidupku begitu mahal dan aku harus membayarnya dengan darah dan rambutku.
“Lala kamu kok kurusan? Diet ya?”
“Iya. Kok kamu tau Sya?”
Kulihat Tasya, sahabatku, sedang menyelidiki tubuhku. Mungkin dia menangkap sesuatu yang berbeda pada diriku. Lagi-lagi aku bisa meyakinkan orang-orang terdekatku bahwa aku baik-baik saja.
Mungkin persediaan senyum dalam kotak yang aku simpan hampir habis. Aku membutuhkannya setiap detik dalam hidupku. Dan aku merasa bahwa waktuku hampir tiba.
***
Tengah malam aku terbangun. Kudengar sayup-sayup suara di ruang keluarga. Kulangkahkan kakiku mendekati sumber suara itu. Hatiku bergetar melihat pemandangan yang membuat air mataku meleleh.
Papa, Mama, dan Kakak sedang berlutut. Mereka melipat tangan. Mereka berdoa. Untukku.
“Tuhan Yesus yang baik, kami tahu Kau Alla Maha Segalanya. Dan Kau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anak kami, Lala. Mungkin hal ini menjadi rahasia bagi-Mu, tapi kami memohon untuk yang terbaik bagi Lala. Kami tahu ada yang tidak beres pada tubuhnya dan…..”
Bruuuuuuuuuuuuuuuk!
Doa mereka terhenti saat mendengar tubuhku tersungkur ke lantai. Aku ingin bangun tapi tak mampu. Kulihat wajah panik pada ketiga orang terkasihku. Aku ingin menangis tapi tak mampu.
Tuhan jangan hentikan hidupku saat ini.
Putih. Itulah yang pertama kali aku lihat saat aku membuka mata. Semuanya serba putih. Aku telah terbaring di kamar rumah sakit. Banyak jarum dan pipa yang menghubungkanku pada cairan infus dan alat detektor detak jantung. Kulihat semua orang berkumpul mengelilingiku.
Aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya bisa terseyum. Saat aku tersenyum, mereka mengeluarkan air mata.
“Aku baik-baik saja.”
“Lala….”
Aku selalu bilang bahwa aku baik-baik saja. Ini sudah kehendak Tuhan dan inilah yang terbaik bagiku. Maka dari itu aku tetap terseyum.
Di belakang mereka, aku melihat ada sesosok menyerupai manusia. Semuanya serba putih dengan jubah panjang dan muka yang bercahaya. Dia tersenyum padaku. Dan aku pun bertanya…
“Apakah Kau Yesus?”
“Apakah Kau akan menjemputku?”
Tak ada jawaban. Yang kulihat hanyalah sebuah senyum penuh damai. Mungkin waktuku sudah tiba.
“Pergilah bersama-Ku. Dan kau akan mendapatkan banyak senyuman di tempat-Ku berada.”
“Apakah Kau Yesus?”
Aku bertanya pada-Nya sekali lagi. Tak kuhiraukan orang-orang yang menangis di sekelilingku. Kudengar dokter berkata bahwa aku semakin kritis.
“Ya, AKU-lah YESUS yang kau sembah itu.”
Aku pun terseyum dan meraih tangan-Nya yang hangat. Aku mulai melangkah bersama-Nya. Kudengar tangis mulai membanjiri ruangan itu. Aku telah meninggal. Itulah yang dokter katakan pada keluargaku.